my playlist (!)

Jumat, 17 September 2010

Meidian Tarania. Part 5B --THANKS FOR YOUR SUPPORTS,GUYS--

Aku menutup lokerku. Setelah menaruh beberapa buku yang
beratnya beberapa ons. Hari ini pelajaran di sekolah sangat berat,
apalagi terpusingkan dengan ulangan kimia dari bu Rosi.
Sebenarnya ulangan itu tidak akan terlaksana, tetapi dikarenakan
anak-anak ramai, jadinya kena batu merah deh (apes).
"Tar," sapa seseorang saat aku berjalan tidak jauh menjauhi lokerku.
Aku menoleh ke datangnya panggilan itu, Raza.
"Gue punya sesuatu buat lo," ucapnya. Ia memberikan sebuah kotak
kuning muda dengan pita biru tua dan putih dibentuk bunga
kepadaku. Aku mengambilnya, dan menatapnya. Kenapa ia tidak
sinis?
"Gue ngasihin itu karena itu buat elo, tapi bukan berarti gue
ngasihin itu artinya gue care sama lo, tapi biar elo bener ngerasa
salah atas kematian abang gue,"
Sungguh, aku terkejut Raza berkata seperti itu. Bukan terkejut
karena dia menyalahkanku, itu sudah biasa untukku. Tetapi kata-
kata bahwa agar aku merasa aku benar salah atas kematian Raka,
itu sangat menyesakkan untukku. Bahkan air mataku hampir
menetes ketika Raza meninggalkanku. Raza pergi dengan tangan
seorang cewek yang menghampirinya di kantin merangkul pada
tangannya.


*********************************************************************************
*****


Aku masuk ke dalam kamarku. Melepaskan tasku, melepaskan
sepatuku kemudian duduk di sofa dengan sekotak kuning yang
diberikan Raza. Sebelum membukanya aku mengambil nafas
panjang, dan aku melihat semua barangku yang ku beri kepada
Raka.
Ada kaos kembar yang kita beli, ada sebotol pasir pantai yang aku
berikan sebagai oleh-oleh dari Lombok, ada topi bertulis huruf T
yang huruf T nya itu aku buat sendiri, ada tiket nonton bioskop kita
dari awal sebelum jadian sampai sudah berpisah seperti ini, aku
tersenyum melihat semua ini, meskipun air mata ku menitik.
Masih banyak lagi di dalam kotak ini, ada sebuah kaset hasil
rekaman kita, karena saat itu aku iri kepada artis berpacaran yang
duet bermesraan, akhirnya Raka membawaku ke studio rekaman,
sebuah sarung tangan berwarna pink yang aku berikan sebagai
jimatnya untuk balapan, dan yang terakhir sebuah kertas origami
berbentuk love dan didalamnya terdapat kalimat "Raka, I Love You".
Aku menangis sekarang, terisak-isak, aku tak kuasa, penyesalanku
semakin meningkat dan rinduku semakin membara. Seperti ada
bayangan muka Raka di depanku, memandangku yang sedang
menangis, tapi tak kuasa untuk memeluk.
Aku terkejut, kepalaku sudah tersandar di badan seseorang, ada
yang memelukku. Aku melihat, dia Alvian. Ia berdiri dan
memelukku, kapan ia datang? Aku tak peduli. Tangisanku semakin
menjadi, dan sungguh aku ingin Raka kembali. Sungguh. Aku
kembali lelah dengan semua ini.


*********************************************************************************
*****


Ketukan pintu terdengar dari luar, sang pengetuk pun sudah
membuka pintu dan menyapaku. Itu Kak Echa. Beberapa jam lagi
seluruh keluarga akan mengadakan proses lamaran secara resmi di
rumah ini. Sedangkan aku, aku sama sekali belum menyiapkan
diriku, aku masih sama berpakaian seragam dan menatap jendela.
Seperti menanti Raka yang akan datang, meskipun aku tau ia pasti
tak akan pernah kembali.
Langit sangat cerah sore ini. Bahkan matahari akan terbenam dapat
terlihat jelas. Kak Echa sudah mengetahui siluet mukaku yang sedih
saat ini, jadi percuma ia memaksaku untuk berbenah. Mungkin ia
juga sudah tau aku menangis tadi siang dari Alvian. Kak Echa duduk
di sampingku.
"Hidup itu kayak koin,Tar. Gampang dibalik, gampang dibalik lagi.
Gampang seneng, gampang sedih. Dan penentu koinnya itu,Tuhan.
Tuhan kasih kita kebahagiaan supaya kita tahu arti syukur itu apa.
Tuhan kasih kesedihan, karena kesedihan itu penting,Tar. Karena
kalo nggak kita jatuh, kita nggak akan tau apa itu bangkit, kita
nggak akan tau apa rasanya bahagia. Kehilangan orang yang kita
sayang itu adalah hujan,Tara. Tapi begitu kamu bangkit dari
kejatuhan yang bener-bener tinggi-setinggi-tingginya akan ada
pelangi. Dan hidup kamu itu adalah kamu, hidup kamu yang
menjalankan adalah kakimu, hidup kamu yang memutuskan adalah
hatimu, hidup kamu yang membawa adalah tanganmu. Dan saat
semuanya itu tidak bisa digerakkan, maka kita akan mengenal
bahwa diri kita itu lemah dimata Tuhan. Bangkit,Tara. Bangkit.
Papa akan sangat bahagia jika melihat putri satu-satunya bisa
bertahan di kedua kakinya sendiri. Dan kakak yakin Raka juga akan
pergi kalo kamu bisa taruh dia di dalam hatimu, bukan di
ingatanmu,"
Aku melihatnya, aku menatapnya tajam sambil meneteskan air
mata. Kak Echa tersenyum kepadaku. Ia sangat cantik, dengan
kebaya dan rambutnya.
"Adek aku harus kuat, dan harus sukses" ucapnya. Dan aku pun
tersenyum sambil memeluknya. Aku kembali mengingat Ardi yang
kuat untuk menceritakan masa lalunya, aku mengingat Mama yang
kehilangan Papa yang mereka bersamanya sudah bertahun-tahun.
Aku menyadari bahwa banyak orang yang bernasib sama, atau lebih
berat mendapatkan masalah daripada aku, tetapi ia kuat.
Aku berterima kasih saat ini. Tuhan adil, ia terus memberikan
orang-orang yang mendukungku. Terima Kasih.

Meidian Tarania. Part 5A --THANKS FOR YOUR SUPPORTS,GUYS--

Aku memungut sebuah cangkir dari lemari atas di dapur. Malam ini sangat sepi dirumah. Keluarga Kak Echa dan keluarga calon suaminya bertemu, aku tidak bisa ikut. Baru setengah jam yang lalu aku pulang dari sekolah, ada perkumpulan mading, dan aku mengikuti itu karena harus menghargai mereka yang mau menerimaku sebagai anggota mading baru.
Aku membuka sebuah bungkusan yang berisi bubuk yang mengandung cafein, menaruhnya dalam cangkir, memberinya sedikit gula dan mencampurnya dengan air hangat.
Lelah juga. Aku duduk di sofa besar yang terletak di ruang keluarga Om Arman. Di rumah bertingkat 3 dan sebesar ini, sangat sepi, membuatku sedikit mengingat tentang kesedihanku. Ah, tidak, aku sudah berjuang untuk melupakan masa laluku, hingga sejauh ini.
Suara ketukan pintu ruang tamu menyadarkanku.
Membangunkanku untuk tidak terlena dari kesedihanku lagi. Aku membukanya.
"Lho, Alvian belum pulang?"
Ternyata Ardi yang mengetuk. Aku mengikutinya yang terus berjalan masuk ke dalam rumah. Seperti rumahnya saja. Ia mengambil minuman di kulkas, kemudian meneguknya, dan dalam sekejap minuman kaleng itu habis seketika.
"Ada perlu sama Alvian,Di?" tanyaku.
"Iya sih sebenernya. Tapi 45 menit yang lalu gue telfon dia, dia bilang masih ngerjain tugas kampus sama temennya. Gue kirain bohong, hehe. Soalnya gue ngajak dia renang, siapa tau malem-malem gini dia nggak mau renang," jelas Ardi.
"Tumben lo pengen renang?" heranku.
"Pengen aja, abisnya masa' kalo gue tenggelam malah cewek yang sih yang nyelametin gue, kayak lo kemaren, ngga malu apa gue,haha,"
Aku hanya menganggukkan kepala. Sedikit mengherankan Ardi ingin berenang di malam hari seperti ini. Sepertinya ada yang salah? Apa mungkin hanya perasaanku saja, toh kalau jika dia cuma malu
memangnya mengapa? Kan itu alasan yang bagus kan?
"Sini gue temenin lo, gue temenin di samping kolam aja, jaga-jaga kalo elo tenggelam lagi," ajakku.
"Yakin lo?rumah gue sepi lho," jawab Ardi. Semakin membingungkan aku.
"Hah? Apa hubungannya sama rumah lo sepi?"
"Yah..hmm...siapa tau daripada berenang kek..mending ngapaaaaain gitu,"
Aku mengangkat alis kananku, berusaha mencerna apa yang dimaksud oleh Ardi. Dan setelah kupikir-pikir, kemudian aku membelalakkan mata.
"ARDIIIIIII!!!!!!!!!!!!!!!!!!"

******************************************************************************************

"Oh, jadi si Reisya itu ninggalin lo gara-gara cowok lain?" tanyaku.
Aku menemani Ardi yang sedang asyik berada di kolam renang. Meskipun gaya berenangnya masih jauh dibawah standar. Ardi juga bercerita tentang siapa itu Reisya. Tau kan? Tidak usah bertanya atau memikirkan topik pembicaraan jika sedang bersama Ardi, dia juga akan berkicau dengan sendirinya.
"Iya, cowok yang dia suka itu anak Bali. Begonya gue, dikadalin dia trus, disuruh ini lah, disuruh itu lah. Trus dia juga bilang waktu itu cuma mau liburan di Bali, eh ternyata, dia bakal selamanya disitu dan dia juga ngaku kalo dia udah bahagia disana karena adanya
cowok itu,"
Aku melihat mata Ardi, terlihat sedih menceritakan itu. Tetapi terlihat ia sangat kuat, ia sangat ingin melupakan semuanya. Bahkan, ia berusaha santai untuk menceritakan semuanya kepadaku.
"Bagi gue, apa yang gue suka, apa yang gue sayang atau apa yang gue cinta, gue bakal usahain buat pertahanin di sebelah gue, tapi kalo apa yang gue inginkan itu nggak mau buat ada sama gue, apa
yang gue sayang itu justru buat gue berkorban tapi menyakitkan, apa yang gue cinta justru nggak buat gue bahagia, buat apa gue terus pertahanin? Toh, gue yakin, akan ada pelangi yang lebih indah daripada sekarang, akan ada Reisya yang lebih baik daripada Reisya, akan ada masalah baru daripada masalah sekarang, akan ada kebahagiaan dari kebahagiaan yang kita alamin sebelumnya, hidup akan terus berjalan, selama Tuhan masih beri kita hidup, kita harus perjuangkan itu,"
Aku hanya menatap Ardi. Tatapannya kepadaku juga sangat dalam. Sedikit, aku bisa mengetahui maknanya bahwa ia juga ingin aku sepertinya. Aku juga ingin seperti Ardi, yang bisa menyemangati dirinya, yang bisa mendorong dirinya untuk tetap maju, yang bisa
memberi semangat orang lain, dan yang pasti bisa terus berjuang menjalani hidup. Karena pada dasarnya, hidup itu halus tetapi didalamnya ia tajam. Tajam untuk bertarung kepada manusia yang
lemah.
Ardi naik ke permukaan, ia mengambil handuk, meneguk sebotol aqua, kemudian duduk di sebelahku. Aku masih termenung. Menatap ke bawah. Lebih tepatnya menatap diriku. Dan bertanya, apa jadinya aku ketika aku akan terus memutuskan menjadi seperti ini?

"Akan ada api yang lebih panas daripada api yang panas yang sekarang kamu rasain,Tara"