my playlist (!)

Senin, 21 Desember 2009

Meidian Tarania (part 1)


Kamar kecil bernuansa cream kecoklatan itu kini telah kosong tanpa hiasan dinding seperti hari-hari sebelumnya. Hanya tersisa satu tempat tidur, tanpa alas ataupun bantal dan guling . Juga meja belajar yang diselimuti oleh kain putih. Pemilik kamar ini sedang duduk di tepi tempat tidur, memandang ke depan, lurus, tanpa menyadari ada yang datang menghampirinya.
“Tar,” sapa seseorang itu, menghampiri pemilik yang terlihat pucat pasi, tampak ada kerutan hitam di bawah matanya. Ia terlihat lelah.
Aku melihat seseorang itu, ternyata kakak perempuanku. Dia adalah kakak pertamaku, sedangkan kakak keduaku, adalah seorang laki-laki yang aku tidak tahu bagaimana keadaannya. Ia jarang untuk menemui keluarganya.
“Ayo, berangkat. Pak John udah masukin barang-barangnya, ada yang kurang?” tanya kakak perempuanku, Echa .
Aku hanya menggelengkan kepala, kemudian bangkit dan mengambil jaket kulitku. Lalu, mengikuti Echa yang mendahului . Mama menunggu di bawah, di ruang makan tepatnya. Sambil merapikan barang-barang yang ditinggal di rumah ini.
“pemilik rumah baru ini pasti akan senang, melihat nyamannya rumah ini, dan bersih,” bangga Mama dengan senyuman indah yang selalu kulihat setiap paginya.
“hei Tara, pagi sayang, udah sehat kamu? Mama sebenarnya mau ambil jadwal pesawat siang supaya kamu bisa bangun siang, tapi om kamu memaksa kita untuk cepat sampai di Jakarta, dan pasti kamu bakal senang ketemu masa kecilmu dulu,”
Mama memang selalu ceria, bahkan setelah papa meninggal, mama lebih ceria daripada biasanya. Mama selalu menutupi apa yang ada di perasaannya, apalagi ketika ia sangat sedih papa meninggal, hanya saja Mama berusaha tidak meluapkan kesedihannya.
Aku hanya tersenyum menjawab pertanyaan Mama, beberapa menit kemudian, kami langsung masuk ke dalam mobil dan menuju bandara. Aku menoleh ke belakang, melihat rumah bertingkat dua yang sudah sejak kecil ku tinggali. Meskipun, papa selalu membawaku keliling dunia.
Di dalamnya, sangat banyak kenangan, yang membuatku teriris dan memutuskan untuk meninggalkan rumah itu.


***************************************************************************************


“aku udah bilang sama kamu, aku bakal sayang sama kamu, dan kita bakal selamanya,”
“janji?”
“iya aku janji sayang,”
-----
“lo bilang lo bakal setia sama gue?! Apanya ?! cowok bejat lo!”
“heh, lo tau? Sejak bokap lo itu meninggal, lo nggak pernah merhatiin gue. Gue butuh namanya orang yang perhatian sama gue! Tapi lo?! Lo nggak bisa terima kematian bokap lo itu, dan akhirnya lo diem diri di kamar, untung nyokap lo ngga bawa lo ke rumah sakit jiwa!”
“gue doain lo nggak akan selamet Rak!”

“AAAAAAAAAAA!”
Aku terbangun , tersentak dalam mimpiku, sampai-sampai aku mengangkat tubuhku agar tak tertidur kembali. Badanku penuh keringat, aku melihat sekeliling. Kini aku sudah tidak lagi tinggal di rumah lama ku, kamar lamaku. Tapi mengapa mimpi ku masih saja tentang masa lalu?
Pintuku terbuka, aku menoleh. Siapa itu?
“lo nggak papa kan? “
Siapa nih?
“siapa lo?”
“gue? Lo nggak inget gue?” tanya cowok itu sambil berjalan ke arahku. Aku masih menatapnya, mulai dari atas sampai bawah. Aku sama sekali tidak mengenalnya, atau mungkin aku tidak mengingatnya.
“engga,”
“gue sepupu lo, Alvian, masih ngga inget juga? Kita kan pernah main sama-sama, yaaah meskipun waktu kecil sih. .Lo jarang sih mau mampir ke sini, padahal kan masih sama-sama Indonesianya, nggak kayak waktu lo kecil lo suka pergi kesana-kesini,”
Aku masih mengerutkan kening. Sewaktu kecil, aku mengalami amnesia kecil, seharusnya itu sudah dapat kusembuhkan, tetapi mungkin kemungkinan dokter itu salah.
“yaudah deh kalo lo nggak inget juga nggapapa, gue dulu di Belanda, dan lo liburan kesana, trus kita maen-maen disana, oh ya, lo kenapa? Tadi teriak? Mimpi buruk?”
Aku hanya menganggukkan kepala, aku masih terbayang mimpi itu, dan tak mengerti kenapa mimpi itu hadir lagi. Aku kembali melihat sekeliling kamarku, kamar ini bernuansa putih, dari cat dinding, tirai sampai barang-barangnya berwarna putih.
“lo suka nggak semuanya warna putih? Lo suka putih kan?”
Aku menoleh ke cowok itu lagi, Alvian. Rasanya memang dia teman kecilku, bahkan dia tau warna favoritku. Tapi aku benar-benar tidak mengingatnya. Mengapa hal yang seperti ini gampang dilupakan, tetapi kalo masa lalu yang menyakitkan sulit dilupakan?
“iya, lo dulu deket sama gue ya?”
Alvian berjalan melihat barang-barang yang sudah tertata rapi di kamar itu. Kamar yang sekarang menjadi kamarku, dan pasti Echa yang telah menatanya. Aku tertidur di mobil ketika sampai di Jakarta, lalu aku menyadari bahwa aku telah sampai di sini.
“dibilang deket, deket lah, kita kan sepupu-an. Tapi sejak itu , sejak lo pulang ke Indonesia, kita sama sekali ngga kontak. Gue heran, kenapa lo bisa selupa ini sama gue? Atau mungkin lo heran lihat wajah gue yang dulu culun jadi ganteng begini? Haha,”
Aku tersenyum, dan aku merasakan bahwa dia memang pernah dekat denganku. Meskipun aku melupakannya, tapi sifatnya itu, sifat kenarsisannya itu, membuatku sedikit mengingat .
“ohiya, entar malem ada konser balet, lo suka balet kan? Gue udah pesen tiketnya, ada Ardi juga ikut, lo siap-siap yaa, satu jam lagi kita berangkat, okee?”
Dia memang tau aku, tapi darimana? Apa dulu aku selalu menceritakan semua hal kepada dia? Apa aku begitu se terbukanya kepada dia? Dan siapa Ardi? Sepupuku juga?

********************************************************************************************
Mobil Alvian berhenti tepat di depan rumah kami, maksutnya rumah baruku. Apa maksutnya?
Mama memutuskan untuk tinggal bersama adiknya. Alvian adalah anak kedua dari adiknya, Om Arman. Sedangkan Alvado, adalah kakak Alvian, yang sudah kuliah dan hampir lulus.
Aku dilahirkan dari suami kedua Mama. Sedangkan Kak Echa dan Kak Alzhar dari suami pertama Mama. Dan karena itulah, ketika papa kandungku meninggal, hanya aku yang sedikit tidak menerima, karena kematian itu, memang selalu datang, tetapi tidak seperti itu datangnya.
Seorang laki, yang terlihat sebaya dengan Alvian datang dan memasuki mobil, ia terlihat senang dengan membawa sebuah kotak kecil.
“hey Tar,how are you? Still remember me? Are you still difficult to speak Indonesian?” tanya lelaki itu.
“dia ngga inget, Di, sama gue aja nggak inget. Tar, ini Ardi, dia tetangga gue waktu di Belanda, dan dia juga maen sama kita di Belanda,” jelas Alvian sambil menjalankan mobilnya.
wow! you don’t remember me? Tara, we had very close, even you've said that I was handsome, and now? I look more handsome than Alvian, right?”
Aku ingat, dulu aku memang sulit berbahasa Indonesia. Bahkan dulu aku tidak ingin belajar bahasa Indonesia, tapi ketika sekolahku harus memakai bahasa itu, dengan terpaksa aku belajar bahasa itu. Meskipun kadang, aku lebih suka berbahasa Inggris. Tapi aku sadar, aku harus menghormati negaraku.
I'm sorry, but I'm very hard to remember my childhood, but I remember little, if I ever close to you at that time,” balasku.
“Di, nggak usah sok pake bahasa Inggris gitu deh, mentang-mentang gue nggak bisa,” kesal Alvian. Ternyata dia sukar berbahasa Inggris, tetapi bahasa Indonesianya sangat lancar, daripada aku.
“haha, nggapapa biar kalo gue lagi ngomongin lo sama Tara, lo susah buat ngertinya, hehe, oh iya Tar, nih ada sesuatu buat lo,”
Ardi memberikan kotak kecil berwarna putih yang ia bawa kepadaku. Aku membukanya, dan aku tersenyum .
Sebuah patung seorang baleria yang kecil, sangat lucu, sejak kecil aku memang menyukai balet, meskipun sejak aku SMP aku berhenti berlatih menjadi penari balet .
“thanks,” ucapku.

******************************************************************************************************************************************************

Penari-penari balet itu menari dengan lembut dan tersenyum. Aku selalu membayangkan jika aku yang berdiri di panggung megah itu, dan keluargaku menyaksikannya.
Konser selama dua jam itu membuatku terkesima, dan aku merasa bahwa aku memang dekat dengan Ardi dan Alvian, mereka tahu tentang aku, dan mereka juga tahu bahwa aku selalu takut ke kamar mandi asing sendirian.
Usai konser, kami makan di sebuah restoran kecil di dekat tempat konser itu. Hanya ada beberapa orang yang makan disana, mungkin sudah banyak restoran menjual masakan jepang seperti ini yang lebih baik. Tapi ini juga bagus, masakannya enak.
“lo masih inget nggak, dulu waktu kita maen salju, Alvian pernah kita kubur pake saljunya? Sampai besoknya dia harus tinggal di rumah selama 2 hari, dan kita di marahin om Arman?”
Aku kira, Alvian adalah lelaki yang narsis yang pernah kutemui, ternyata Ardi lebih narsis daripada dia, dan lebih tepatnya, Ardi lebih cerewet. Daritadi, Alvian hanya tersenyum kepadaku, dan selalu seperti itu jika kami bertatapan. Sedangkan Ardi, selalu bercerita tentang masa kecil kita kepadaku. Mungkin kenarsisan yang dilakukan Alvian sewaktu di kamar, lebih terlihat cool daripada narsis.
Bodohnya, kenapa aku sama sekali tidak ingat?



********************************************************************************************



Malam ini aku menghabiskan malam pertama di Jakarta dengan sahabat-sahabat lamaku. Meskipun aku belum mengingat mereka, tetapi malam ini aku merasa tenang, nyaman, dan aku dapat tersenyum. Sampai aku memutuskan untuk tidur di jok belakang mobil Alvian. Dengan pulas.
Ardi menoleh pada Tara, ia tersenyum. Melihat Tara tertidur, menikmati seluruh jok belakang adalah miliknya.
“dulu dia masih kecil, tubuhnya belum terbentuk dan seperti wanita kayak gini,” ujar Ardi.
“iya, gue pertama juga gitu, tapi dia nggak inget kita,”
“katanya ingatannya udah kembali?”
“gue juga nggak ngerti, mungkin belum kembali, dia juga lebih diem, karena bokapnya sama mantan pacarnya itu,”
“hah? Kenapa? Lo kok nggak pernah cerita ke gue?”
“biar dia aja yang cerita, kita coba buat dia jadi lupa sama hal yang menyakitkan,lagipula nyokapnya cuma ngomong ke gue kalo mantannya itu buat dia juga kayak gini, tapi gue ngga tau siapa,”
“dan kita coba buat dia inget sama kenangannya,” tambah Ardi.

……

“AAAAAAAAA!”
Alvian menghentikan mobilnya, mereka langsung menoleh ke belakang, melihat Tara menelungkupkan badannya, sehingga dengkul kakinya bertemu kepalanya. Badannya penuh keringat. Alvian menepikan mobilnya.
Ardi membuka pintu belakang, dan berhadapan dengan Tara, sedangkan Alvian mengambil minum dan menyodorkannya kepada Tara.
“badannya panas, Di,” ujar Alvian merasa khawatir kepada Tara, yang masih tak mau memunculkan wajahnya.
“Tar, lo kenapa?” tanya Ardi.
Tara menampakkan wajahnya, terlihat wajah Ardi yang khawatir dan tangan Alvian yang memegang pundaknya.
“jauhin dia dari guee, jauhin!jauhin Raka dari gue, gue ngga mau dia ada lagi dalem mimpi gue, dia bajingan ! kenapa dia nyalahin gue!” Tara menangis, Ardi memeluknya dan berusaha menenangkannya.
Ardi dan Alvian berhadapan, siapa Raka? Apa yang terjadi?

*******************************************************************************************************************************************

Alvian duduk di depan pintu kamar Tara, berjalan di sekitarnya, menenangkan hatinya tak tenang. Ia gundah dan gelisah, ada apa dengan saudaranya itu? Sedangkan Ardi lebih tenang, ia duduk di dekat pintu sambil mendengarkan lagu dari i-Podnya.
Kak Echa keluar dari kamar Tara, ia melepaskan stetoskop dari telinganya. Ia adalah seorang dokter yang sedang mengambil spesialis penyakit dalam di Universitas Indonesia. Universitas yang selalu ia impikan.
“dia cuma butuh istirahat aja, mungkin capek perjalanan dari Bali ke Jakarta, terus langsung jalan, besok juga sembuh, anak itu memang punya tekanan darah rendah, gampang lelah,” jelas Kak Echa.
Alvian dan Ardi menjadi merasa bersalah, langsung mengajak Tara keliling dengan mereka, padahal Tara sangat lelah, apalagi ia juga berusaha mengingat masa lalu dengan Alvian dan Ardi.
“ohiya, maaf ya, tadi Tara bilang belum bisa ingat sama kalian, meskipun dikit. Akhir-akhir ini dia memang lebih suka diam dan banyak masalah, jadi wajar kalo dia sulit mengingat masa lalu, apalagi ingatannya terganggu karena masa kecilnya,”
Alvian mengangguk sambil meminta maaf, karena sudah memaksakan fisik Tara. Sementara Ardi bingung mengarah pada Alvian, ia sama sekali tidak tau tentang masa lalu Tara, meskipun memang dia dulu pernah menjadi teman kecil Tara. Apalagi ingatan Tara terganggu karena masa kecilnya, ada apa?
******************************************************************************************

“lo yakin nggak tau siapa Raka?” tanya Ardi pada Alvian sambil memberikan secangkir kopi hangat kepada sahabatnya itu.
Alvian menggelengkan kepala, ia meneguk kopi sambil memandang kolam renang yang luas dengan lampu-lampu di pinggir kolamnya. Kolam itu selalu menjadi tempat curhat mereka, bukan di kamar. Meskipun itu di rumah Ardi, tetapi Alvian sering berenang disana.
“terus masalah masa kecil sama ingatan apaan?” Ardi duduk di sebelah Alvian, selalu menanyakan tentang apa yang terjadi pada Tara. Sudah lama ia tidak bertemu dengan Tara, justru ia merasa ada yang aneh pada gadis itu. Maklum, calon psikologi.
“waktu sampai di bandara, ia ketabrak mobil waktu nyebrang, itu buat ingatannya jadi lupa, istilahnya amnesia kecil gitu lah. Makanya dia lupa kita, gue sih wajar, tapi gue rasa dia udah mulai inget sama kita,”
Suasana jadi diam, sama-sama terhanyut dalam pikiran masing-masing. Tak menyadari bahwa yang dipikiran mereka adalah hal yang sama. Tara. Merasa ada yang beda dengan dirinya, dari ingatannya, dari mantan kekasihnya, dari ayahnya, terutama dari sikapnya yang diam.
“lo ngerasa ada yang salah ngga sih dari Tara? Seenggaknya, meskipun cuma dua bulan kita sama dia, tapi emang waktu kecil Tara diem gitu? Dia kan paling cerewet sendiri,” heran Ardi.
Alvian hanya terdiam, terus memandang lurus dan tak lupa memikirkan hal itu. Mungkin memang Tara terlalu syok atas kematian ayahnya, dan mungkin ia tersakiti oleh Raka, kekasihnya itu.

*********************************************************************************************************************************************

Aku melangkahkan kaki turun dari tangga, dengan sandal kelinci yang selalu kukenakan. Tersenyum kepada orang-orang yang sedang bersarapan pagi disana. Mama yang memakai baju usai fitness, Tante Irma dan Om Arman yang berbaju rapi ingin bekerja, Kak Echa yang masih menggunakan baju tidurnya, sama sepertiku, dan Alvian yang sudah berpakaian rapi ingin berangkat kuliah.
Aku duduk bersama mereka, mendengarkan pembicaraan mereka dan hanya tersenyum. Hanya itu yang bisa kulakukan, dan aku beruntung bisa selalu tersenyum menutupi hatiku rasanya terlalu sulit di sembuhkan.
Alvian mengambilkan roti untukku, dengan selai coklat ditaburi meses. Itu roti kesukaanku, yaa aku sedikit ingat tentang dia dan Ardi. Aku memang merasa dekat dengan mereka, tetapi hanya beberapa bulan dan setelah itu aku hilang ingatan.
Tidak mudah untuk mengingat, karena jika aku berusaha mengingat yang justru kuingat bukan mereka malah orang-orang yang sibuk berada dalam pikiranku saat ini, dan berusaha untuk mengacaukanku pikiranku.
Aku memakan roti yang diberikan oleh Alvian, semua sedang membicarakan calon suami Kak Echa. Yap, sebentar lagi kak Echa akan menikah, dan tentunya akan tinggal bersama suaminya. Mungkin hidupku akan lebih terasa sepi, tanpa ada yang selalu menyemangati.
“Jadi, Tara mau sekolah dimana?” tanya Alvado.
“deket sini aja deh, kak,” jawab Tara.
“gue bakal masukin Tara di sekolah gue dulu, disitu enak banget udah deket mall dan deket rumah, jadi lo bisa kemana aja,” ujar Alvian.
“oh, Tar, lo kalo mau kemana-mana bilang sama adek gue aja, gue yakin dia pasti bisa temenin lo, hehe,” ujar Alvado. Aku melihat muka Alvian, menjadi memerah, kenapa dengan dia? Sudahlah, aku tak ingin terlalu memperhatikan.
*****************************************************************************************************************************************************
Aku menunggu di dalam mobil Alvian, sudah dua jam, dan Alvian tak juga kembali. Ingin sekali menyusulnya, tetapi percuma, kini Alvian sedang mengurus pemasukanku ke sekolah ini. SMA negeri yang mungkin cukup terkenal, sekolah yang sangat luas meskipun hanya bertingkat 3.
Alvian berjalan menuju mobilnya, masuk ke dalam mobil, dan tersenyum kepadaku.
“gimana? Diterima kan?” tanyaku.
“iyalah, diterima, apalagi umur lo, seharusnya lo kelas dua, bukan kelas satu. Lagian umur 15 tahun, kelas dua. Untung gurunya percaya, kalo lo udah pernah kelas satu di Bali,”
Aku tersenyum lega, akhirnya hari senin besok aku sudah bisa bersekolah. Menikmati suasana baru di Jakarta, meskipun aku yakin tak akan segampang itu dapat bisa menjadi aku yang dulu. Tapi aku pasti bisa, apalagi dengan Alvian dan Ardi, yang selalu membuatku merasa nyaman, meskipun aku masih belum bisa mengingat mereka.
Alvian menjalankan mobilnya, hari ini ia tidak ada jadwal kuliah, dan berjanji akan menemaniku. Itu suatu kebanggaan diriku padanya, dia tidak hanya sebagai sepupuku, tapi sudah ku anggap jadi sahabatku.
Sejak aku datang di sini, aku merasa, dia dan Ardi menjadi masa lalu yang indah, dan sama sekali aku tidak pernah menyadari hal itu.
“ohya, kemaren gimana tidurnya? Ngga mimpi lagi kan?” tanya Alvian, membuyarkan lamunanku tentang dirinya.
“engga,” jawabku tersenyum.
“gue udah tau itu,” ucap Alvian, menyunggingkan senyum kepamerannya yang tidak dimengerti olehku. Aku hanya mengangkat sebelah alisku, dan kurasa dia mengerti bahwa aku ingin penjelasannya.
“kalo lo mimpi lagi, wajah lo ngga akan lebih tenang daripada sekarang. Pertama kali lo disini, lo sama sekali ngga nyimpulin sirat wajah yang lebih baik dari ini,”
“hahaha, terlalu dramatisir lo,” ucapku. Alvian hanya tersenyum. Senyuman itu selalu membuatku merasakan bahwa aku sangat nyaman berada di sampingnya, meskipun hanya melihatnya sedang menyetir seperti ini.

Selasa, 15 Desember 2009

bagaimana aku terus bertahan
jika ia tetap tak ingin hatinya untuk tinggal
bagaimana aku terus berdiri tegap
jika ia tak membiarkan aku untuk memeluk hatinya
bagaimana aku dapat menunjukkan wajahku kepadanya
jika aku tak kuasa menahan hati bahwa dia telah berhasil menemukan orang yang lebih baik
dari aku..
bagaimana aku dapat menunjukkan senyumanku seperti dulu kepadanya
jika apa yang aku lihat, justru membuatku terkejut
jika apa yang aku dengar, justru membuat telingaku berdenging
jika apa yang aku rasakan, justru membuat hatiku tak kuasa menahan air mata yang menetes
tangan itu,
tangan yang dulu selalu membuatku merasa terjaga
pelukan itu,
pelukan yang selalu kau beri, hanya jika aku menangis atau benar-benar membutuhkanmu
senyuman itu,
yang masih sangat terbayang olehku
bahkan di setiap mimpiku
apa aku salah jika aku terus mengingatmu?
karena semakin aku menjauh, justru aku semakin terus bertemu denganmu
dimanapun itu
dan kapanpun itu
apa aku salah jika aku masih ingin terus mendekap hatiku untukmu?
aku tidak menginginkan hal yang lebih
hanya butuh waktu
untuk menerima semua
yang telah terjadi

rocketrockers - hilang ingatan

menghilanglah dari kehidupanku
enyahlah dari hati yang telah hancur
kehadiran sosokmu kan menyiksaku
biarkan disini ku menyendiri

pergilah bersamanya disana
dengan dia yang ada segalanya
bersenang-senanglah sepuasnya
biarkan disini ku menyendiri

terlintas keinginan tuk dapat
hilang ingatan agar semua terlupakan
dan ku berlari sekencang-kencangnya
tuk melupakanmu yang telah berpaling

disini, kembali
kau hadirkan ingatan yang seharusnya kulupakan
dan kuhancurkan adanya.

letih, disini, ku ingin hilang ingatan

Kamis, 03 Desember 2009

love is beautiful if you feel it :)

aku tidak tau sejak kapan aku gemar membaca novel
berusaha memahami setiap kalimat yang ditulis
berusaha menjelma kalimat demi kalimat
yang berfungsi untuk mencari jalan keluar
atau sekedar menyemangati
tentang masalah yang aku jalani
sebuah novel karya Ilana Tan
Yang selalu membuatku penasaran
Yang selalu membuatku mencari
Inti dan akhir dari kisah itu
Dan setiap novel karyanya
Aku selalu berfikir
Selalu menemukan bahwa cinta itu
bukan dimiliki,
tetapi dirasakan dan semua berhak merasakannya
perasaan yang indah,
dan jika menyakiti
bukan 'cinta yang sakit' tetapi hanya karena masalah yang memperebutkan posisi cinta itu pada orang tersebut
novel ini,
membuatku sadar bahwa perasaan cinta itu pasti dirasakan semua orang
hanya saja
penempatan perasaan itu dalam hati kita
sebagai orang terkasih
orang tersayang
orang tercinta
novel ini,
membuatku sadar,
bahwa seberat apapun pengorbanan cinta yang kita lakukan
dengan siapapun dan bagaimanapun itu
kita tidak pernah sadar
bahwa daridulu kita sudah memilikinya
dalam hati
bukan dalam pelukan kita
cinta tidak bisa memaksa semua orang untuk memeluk perasaan dalam hati,
cinta tidak bisa membuat semua orang merasa gembira, karena orang itu merasa bahwa cinta telah menghianatinya
padahal,
mereka tidak tahu, cinta hadir disaat seseorang telah menghianati pasangannya
disaat seseorang telah meninggalkan pasangannya
disaat seseorang telah berbuat jahat kepada orang yang dia sayangi
dan lebih tepatnya...
disaat seseorang telah menyesal membuat orang yang dia sayangi menangis dihadapannya
tetapi karena itulah,
cinta itu datang, dan karena itulah cinta itu berhak hadir, karena memang dia sudah mempunyai jatah waktu untuk hadir dalam kerumunan orang-orang
yang berharap tidak ada yang namanya kesepian
dan tangisan..