my playlist (!)

Selasa, 09 Februari 2010

adelaide sky

I need to know what's on your mind

These coffee cups are getting cold

Mind the people passing by

They don't know I'll be leaving soon



I'll fly away tomorrow

To far away

I'll admit a cliché

Things won't be the same without you



I'll be looking at my window seeing Adelaide sky

Would you be kind enough to remember

I'll be hearing my own foot steps under Adelaide sky

Would you be kind enough to remember me



I'll let you know what's on my mind

I wish they've made you portable

Then i'll carry you around and round

I bet you'll look good on me



I'll fly away tomorrow

It's been fun

I'll repeat the cliché

Things won't be the same without you



I've been meaning to call you soon

But we're in different times

You might not be home now

Would you take a message

I'll try to stay awake

And fight your presence in my head

by :

Rabu, 03 Februari 2010

Meidian Tarania. Part 4, --semangat TARA!!--

Istirahat pertama di sekolah baruku aku memutuskan untuk berkeliling sekolah, mengamat ruangan apa saja yang ada di dalam sekolah ini, bersapaan dengan beberapa murid.
Untung saja tidak ada ritual kedatangan siswa baru disini. Jadi, aku tenang-tenang saja. Aku berjalan menuju gudang, di sebelah gudang banyak siswa yang diam-diam merokok, yaa itulah sekolah. Dimana para murid diberi tumpukan peraturan yang harus dijalani, termasuk aku sebaga murid yang harus menaatinya.
Aku berjalan di sepanjang koridor, ada beberapa orang yang memperhatikanku, dan ketika aku memberikan senyuman kepada mereka, mereka pun membalasnya. Itu salah satu cara, agar dapat diterima tenang di sekolah ini.
Dia
Langkahku terhenti ketika aku melihat sosok lelaki yang sangat ku kenal. Aku menghampirinya, berusaha berjalan mendekatinya yang melihat pengumuman di mading. Tetapi, seperti halnya tadi, ketika aku menghampirinya, ataupun memanggilnya dia tidak menggubris.
Sudahlah mungkin dia memang masih marah kepadaku, atas hal yang menimpa pada kakaknya. Mungkin sampai sekarang dia tidak ingin menemuiku, apalagi memaafkanku.

..................................................................................

Aku duduk di sofa kamarku sambil menonton TV, memeluk boneka yang biasa ku peluk saat tidur, dengan kaki menyilang, dan sebuah kue coklat buatan mama di meja, aku sangat nyaman dengan kegiatanku seperti ini.
Malam ini, aku terlihat lebih tenang, meskipun aku melihat Raza di sekolah, yang tidak mau menyapaku. Aku masih merasa bersalah, tetapi entah mengapa malam ini aku terlihat lebih tenang menerima kenyataan yang ada di depanku.
Pintuku diketuk oleh seseorang. Mungkin dua orang, karena mereka menyapaku di luar sana dengan suara yang berbeda. Aku bangkit, berjalan menuju pintuku, dan membukanya.
“haloooooooo,”sapa Ardi tersenyum riang kepadaku. Ia membawa sekotak pizza, dan minuman. Alvian hanya tersenyum kepadaku. Mereka langsung masuk ke dalam kamarku, duduk di karpet dan membuka sekotak pizza.
“ada perayaan apa nih?” tanyaku kepada mereka.
“lhoo hari ini kan hari pertama lo di sekolah, dan karena hari itu baik-baik aja, kita buat perayaan kecil-kecilan, rencananya sih mau sama mbak Echa, tapi lagi kerja dia,” jelas Ardi.
“lo beneran nggak di apa-apain kan di sekolah? Kalo di apa-apain, mereka pada ngga tau preman di sekolah itu dulu siapa, haha,” tanya Alvian.
“ngga kok, tenang aja, hehe, makan yuk!”ajakku. Aku mengambil sepotong pizza, menggigitnya dan memasukkannya ke dalam perutku, sangat enak. Kemudian aku mengambil minum, menusukkan sedotan, dan menyedotnya. Ardi dan Alvian juga sangat lahap memakan makanan yang mereka pesan itu.
Kita bersenda gurau bersama, membicarakan seharian ini apa saja yang mereka lakukan. Selalu Ardi yang paling cerewet, bahkan ia bercerita tentang dosen yang menurutnya menyebalkan, dan hal itu disetujui oleh Alvian.
Aku tersenyum melihat tingkah mereka, hatiku terhanyut , bukan karena kesedihan tentang Raka, tapi aku merasa, aku bangga memiliki mereka, berkenalan dengan mereka, bertemu dengan mereka, dan mereka sangat menyambutku dengan baik. Meskipun aku sama sekali tidak mengingat mereka, tetapi mereka tetap berusaha untuk membuatku ingat. Aku merasa, mendapat hidup yang baru bersama mereka, dan mulai memahami masa laluku agar aku dapat menerimanya.
Acara makan pun selesai, kami menonton TV di kamarku, acara komedi yang disukai Ardi itu selalu membuatku tertawa, Alvian pun sama denganku. Ardi selalu menambahkan bagian-bagian yang lucu menjadi lebih lucu lagi, tau kan maksutnya? Hehe
Kamarku menjadi berantakan, termasuk ruang TV ku ini, pop corn berserakan dimana-mana, Ardi dan Alvian dengan asyiknya melakukan duduk yang membuat mereka nyantai. Aku pun juga begitu, meskipun aku sendiri yang duduk di sofa, mereka di karpet. Sungguh, aku merasa mereka seperti keluargaku. Aku merasa ada lagi sosok lelaki yang masuk dalam keluargaku. Meskipun aku rindu Dio.
“anjir, nih cowok asoooy men, cocok banget dia jadi banci, lumayan cantik lhoo, hahaha,”ucap Ardi.
“Di, tobat lo! Lo masih suka cewek kan?” tanyaku. Aku hanya memastikan saja, ucapannya itu hanya sekedar biasa atau memang dia mulai suka dengan lelaki, kan aku tidak tahu menahu tentang hubungan percintaannya.
“Di, kalo lo masih nggak bisa lupa Reisya jangan gitu, Di hahaha,” tambah Alvian.
Reisya? Siapa itu?
“ngarang lo men, gue masih normal lah haha, udah ah nggak usah inget Reisya lagi,” jawab Ardi. Dia tidak marah mendengar nama Reisya, malah matanya menimbulkan rasa rindu dengan cewek itu. Siapa dia?
“Reisya? Siapa tuh?” tanyaku. Tidak ada masalah kan jika aku bertanya tentang Reisya?
“tuh cewek yang ditunggu Ardi trus haha, seharusnya dia kakak kelas lo, Tar,” jawab Alvian.
“hash, udah deh nggak usah dibahas ah, ntar gue malah kangen sama dia haha,” sahut Ardi.
“kok seharusnya? Emang dia dimana sekarang?ah gue pengen diceritain!” ucapku. Ups, kenapa aku jadi manja lagi?
Ardi dan Alvian sempat bertatapan, kemudian mereka tersenyum. Sudah pasti, mereka pasti kaget melihatku bersikap seperti ini, tapi mereka terlihat tersenyum. Hihi.
“Dia itu mantan gebetannya si Ardi, terus dia pindah ke Bali, sampe sekarang Ardi masih sayang sama dia, tapi Reisya udah nggak ada kabar,”
“ohh, kenapa lo nggak ke Bali aja, Di?” tanyaku.
Ardi hanya tersenyum, menatapku dengan tatapan sedih. Apa maksudnya? Mungkin ada sesuatu yang terjadi antara dia dam Reisya, yaah layaknya anak muda yang mengalami semacam patah hati.

....................................................................................

Aku berjalan di sepanjang koridor, mengikuti arus siswa menuju kantin. Hari ini hari pertama aku menginjakkan kaki menuju kantin sekolahku. Hari kedua di sekolah baruku. Aku hanya baru berkenalan dengan beberapa siswa, itupun hanya di kelasku.
Aku juga tidak pernah bertemu ‘dia’lagi. Entah dimana, aku hanya ingin menyapanya, dan menanyakan apakah dia masih membenciku sejak enam bulan yang lalu.
Sheila, dia teman baruku di sekolah ini. Dia teman sebangkuku yang pertama kali menyapaku ketika aku menginjakkan kaki, dia yang menemaniku berkeliling sekolah, menemaniku mendaftarkan ku sebagai anggota mading. Dia yang menemaniku sepanjang hari di sekolah ini.
Dia cantik, ramah, baik, sopan dan hampir semua wanita yang kutemui, tidak akan ada yang tahan dengan sifat cuek yang kumiliki. Tapi dia? Selalu tersenyum jika aku bersikap sinis atau menjawab satu kata kepadanya.
‘’hei, ngelamun aja . kok gue ditinggal sih? Jahat amet lo, udah pesen makanan lagi,”
Panjang umur deh, baru namanya muncul dalam pikiranku, ternyata orangnya sudah ada di depanku sekarang.
“sori, gue kira lo lagi sibuk sama OSIS lo itu, jadi gue duluan aja,”jawabku kepadanya.
Sheila hanya tersenyum, ia memesan minuman buah tanpa makanan. Heran, kenapa ia tidak lapar? Sementara aku rasanya sudah ingin memakan semua makanan yang ada di kantin ini.
“ngga makan?” tanyaku, memastikan ia tidak apa-apa jika ia hanya minum saja.
“engga ah, hihi,”
Kemudian aku dan Sheila bercerita banyak hal, hari ini kami semakin dekat. Aku heran, kenapa anak secantik dia ingin berteman denganku, seharusnya ia dapat mempunyai banyak teman, bahkan satu sekolah pun bisa tertarik pada kecantikannya, apalagi ia mempunyai sifat ramah seperti ini.
Aku mengalihkan pandanganku, dari menatap muka Shelia yang tepat berada di depanku, menjadi ke ‘dia’. Yah, dia memang sudah melihatku, dia berjalan melewatiku, melirikku, dan tatapannya tetap sinis. Apa yang harus kulakukan? Berbicara padanya? Menyapa saja aku sedikit ragu jika ia akan membalasnya.
Eits, ada seorang cewek mengejarnya, cewek itu sangat sempurna, tingginya, kulitnya, bahkan wajahnya nan ayu itu membuatku tertarik kepadanya. Sempurna. ‘Dia’ menunggu cewek tersebut menghampirinya, ia berhenti, dan ketika cewek itu berada di sampingnya, ia menyunggingkan senyuman kepadanya.
Sepertinya mereka pacaran.
“Taraaa, lo dengerin gue nggak sih?” kesal Sheila, menyadari aku tidak mendengarnya. Tetapi, meskipun aku mendengar omelan itu, aku tetap menatap mereka berdua. Seperti orang pacaran.
Akhirnya Sheila pun menatap kedua itu, memperhatikan kemana arahku, memperhatikan pandanganku, yang sepertinya sangat sinis, untung saja mereka tidak menyadari aku memandang mereka dengan cara yang seperti itu.
“Taraaaaaa!”
Suara cempreng itu terdengar sangat jelas di telingaku, aku mengernyit kesal. Suara itu terdengar dari kejauhan saja sudah sangat nyaring di telinga, apalagi orang yang berteriak sekarang berada tepat di depanku. Dengan manyun dan kesal, ia tetap memandangku dan mengomel.
“sori-sori, hehe biasa gue ngelamun lagi hehe, tadi lo cerita apa?”tanyaku.
“dari kemaren lo mesti liat tuh cowok, lo naksir dia yaa?mau gue kenalin? Dia anak OSIS kok, haha,”
“bukan, gue kenal kok sama tuh cowok,”
“kenal dan lo suka sama dia?” tanya Sheila, ia sangat berusaha menjebakku.
“bukan, gue dulu pacaran sama kakaknya, sekarang dia benci sama gue, karena gue nyakitin kakaknya,” jelasku. Yah, meskipun sangat terlihat aku berusaha menutupi kesedihanku untuk bercerita, tapi Sheila tetap ingin mendengarkan semua ceritaku, tanpa peduli jika ia takut aku menangis.
“jadi lo pernah pacaran?” tanya Sheila.
HAH? Maksutnya pertanyaan Sheila apa coba? Menghinaku?
“sori sori, abisnya sejak lo masuk awal kesini, lo keliatan cuek banget, kayak cowok, makanya gue nggak nyangka lo pernah pacaran? Trus kenapa putus? Ngga balikan lagi?”
Segudang pertanyaan yang dilontarkan Sheila tak mampu kujawab, aku hanya menatapnya dan dia masih menatapku dengan harapan aku dapat menjawab pertanyaan. Aku tidak akan bisa, Sheil. Aku bangkit dari kursi kantin, berniat untuk jalan memesan minuman, tapi..
BRUAK!
“sori sori gue nggak sengaja,” ucap gadis itu. Gadis yang tadi menghampiri laki yang selalu membuatku tidak enak. Lelaki itu melihatku, saat gadis itu tidak sengaja menumpahkan minumannya kepadaku. Lelaki itu menatapku dengan membelalakkan matanya, apakah selama ini dia tidak tahu aku ada? Lelaki itu berdiri, berjalan menghampiriku dan gadis yang tadi ku duga sebagai kekasihnya. Ia masih menatapku, dan aku sangat ketakutan.

.....................................................................................
“sejak kapan lo pindah?” tanya lelaki itu kepadaku. Kami sedang duduk bersampingan di samping lapangan basket sekolah. Hari sudah sore menjelang maghrib. Dia menyuruhku untuk menemuinya usai pulang sekolah, tepatnya usai dia latihan basket.
“gue pengen cari hidup baru,”
“berarti lo lupain kakak gue,” tambahnnya.
“gue bukan ngelupain kakak lo, tapi gue pengen cari hidup baru dimana gue bisa bangkit,Raz,”
“dan sekarang lo bisa bangkit? Dengan lo pindah? Dan kita ketemu lagi?”tanya Raza. Sepertinya ia masih sangat kesal, dengan kematian Raka, kakaknya. Itu semua bukan salahku, hanya saja malam itu aku menyumpahinya dan itu terjadi. Apa itu salahku? Aku mengingat Raka kembali, tetapi aku selalu tidak merasakan ia marah kepadaku. Hanya Raza yang terlihat kesal dengan apa yang kulakukan, dan dia selalu berfikir akulah penyebabnya.
Saat pemakaman Raka, aku menceritakan semuanya kepada Raza, aku tidak tahu harus bercerita ke siapa, tentang hal yang terjadi malam sebelumnya. Aku tidak tahu jika semua menjadi seperti ini, kata-kata itu yang selalu kuucapkan pada Raza. Tetapi tidak bisa, itu tidak berfungsi ketika Raza menyalahkanku, karena semua itu salahku.
“lo masih marah sama gue, Za?” tanyaku. Aku menatapnya, Raza yang masih menatap lurus ke depan, ia tidak pernah menatapku lagi, semenjak ia terkejut melihatku ada di sekolah ini.
“gue nggak akan pernah maafin lo,” jelasnya. Perasaan menyerah ini kurasakan seperti Raza berkata seperti itu ketika di pemakaman. Dan ternyata hasilnya tetap sama, aku menundukkan kepala.
Suasana hening, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku merasa bersalah. Sempat terpikir perasaan takut menghantui sekelilingku, Raza menjadi kakak kelasku, aku takut ia akan mengerjaiku dengan apapun. Aku sangat takut.
“gue balik aja deh, sorry ya kalo gue nggak sengaja masuk ke kehidupan lo lagi, sorry juga kalo kedatangan gue ini buat lo marah, gue cuma bisa bilang maaf sama lo, karena gue nggak tahu apalagi yang bisa gue lakuin buat lo, jujur, lo harus sadar, kakak lo mati bukan sepenuhnya salah gue, itu takdir, Za. Kematian itu takdir, bukan karena salah seseorang,”
Aku bangkit, berjalan melewati lapangan basket, melewati pagar sekolah dan menghilang dari Raza yang masih terpaku pada pandangannya. Entah apa yang dia pikirkan, aku tidak peduli. Aku sudah berusaha menikmati hidup baruku ini dengan usaha yang tidak gampang, dan aku tidak akan membuat diriku mengingat masalaluku hanya karena adik Raka yang satu sekolah denganku. Aku tidak peduli lagi. Aku bukan Tara yang dulu, iya, aku bukan Tara yang dulu, aku harus kuat.