Aku merasakan pancaran matahari dari balik tirai kamarku. Ternyata sudah pagi, sudah hari esok. Aku terbangun, dan mendapati Ardi berada di depanku, mengarah pada meja belajarku yang berwarna putih dan etnik. Dia melihat sesuatu.
“Di? Ngapain lo di kamar gue?”
Ardi terlihat terkejut, hampir saja ia menjatuhkan sebuah foto. Foto keluargaku, yang masih kusimpan. Ia mendekat ke arahku. Tersenyum, seperti tadi malam. Apa ada senyuman Raka yang mirip seperti ini?
“tadinya mau ke Alvian, tapi ternyata dia lagi les renang, jadi mending ke lo aja, kita hari ini mau ke Dufan, hehe,” ucap Ardi.
“Dufan?”
“iya, jadi lo siap-siap ya, sejam lagi gue jemput, kita jemput Ardi dulu di tempat renangnya, daaaaa,”
Ardi langsung meninggalkanku, bangkit dari tempat tidur, dan membuka pintu kamar. Bagi Ardi dan Alvian, masuk ke kamarku, seperti masuk ke kamar cowok saja, yang bisa langsung masuk. Sebaiknya memang kalau berganti pakaian aku di kamar mandi saja, hehe.
..........................................................................................................................................................................
Suasana sangat ramai saat itu, terdengar sorakan para murid, menyorakki Raka. Raka sudah berdiri di pinggir kolam, dengan tampang ketakutan, ia melepas bajunya dan menggantinya dengan baju renang. Aku duduk di pinggir, menatapnya takut. Apa harus cara ini yang ia buktikan? Tanpa harus membuktikan cintanya seperti ini, aku juga pasti akan menerimanya.
Raka menenggalamkan dirinya bersama air di dalam kolam renang. Pertama, aku sedikit lega, karena dia dapat mengapung di air itu meskipun dengan gaya apa saja. Dalam hatiku menyorakki dirinya, berdoa agar dia tetap baik-baik saja.
Tidak sampai beberapa detik, ketika aku lega karena ia sedikit berhasil, ia berhenti, tenggelam, tidak bergerak. Aku berdiri dari dudukku, semua penonton yang melihatnya terdiam, mencari dirinya. Aku mendekat, berusaha menemukan dia. Tapi..
“Tolong!tolong!tolong!” Ia meminta tolong, sekuat tenaganya, mulutnya berusaha bergerak meskipun dia akan meminum air kolam. Aku melepaskan sepatuku. Berjalan untuk menolongnya.
“Jangan, kalo dia sayang, dia pasti berjuang,” ujar Dio, kakak lelakiku. Dia mencegahku, Raka terus meminta tolong, tetapi tidak ada satupun yang menolong dirinya.
Sudah cukup, ini tidak bisa dibiarkan.
Dengan nekat, tanpa memperdulikan Dio yang berteriak, aku menceburkan diriku ke kolam renang, menuju ke tempat Raka, menolongnya, memegang tangannya, dan menariknya ke tepi. Saat itulah semua teman membantuku. Raka sudah pingsan.
Aku menepuk-nepuk dadanya, bahkan teman-temanku berusaha memberikan nafas buatan kepadanya. Tapi tidak bisa, saat itu aku merasa menyesal, sangat menyesal, tidak perlu seperti ini, aku pasti akan menerimanya. Karena aku mencintainya, dengan dia yang tulus, dengan apapun kekurangannya, salah satunya tidak bisa berenang, aku tetap akan menerimanya
......................................................................................................................................................................
Aku sadar dari ingatanku, kini aku sedang duduk di pinggir kolam renang itu, aku melihat kolam renang, melihat Alvian yang masih asyik berlatih.
“inget lagi?”
Aku terkejut, ternyata Ardi sedang duduk di sampingku, aku baru menyadari. Apa dia sudah daritadi? Aku hanya tersenyum, merasa tidak enak, merasa bodoh mengapa aku selalu gampang mengingat tanpa harus aku minta untuk ingat?
“gue emang selalu gitu,” ujarku. Ardi menoleh kepadaku, berusaha mencerna apa maksut dari ucapanku. Ia masih menatap mataku.
“tanpa gue minta ingatan itu dateng, dia bakal dateng dengan sendirinya,” jelasku.
Ardi masih menatapku, aku tidak bisa menatapnya, aku ingin kuat, tidak menangis, tidak membayangkan wajahnya, tidak membayangkan senyumnya, semua kenangan itu, setiap hari aku berdoa, aku dapat menghilang dari kenangan ku bersamanya. Entah berapa lama aku bersamanya, aku ingin cepat melupakannya, seperti secepat itu dia pergi.
“Raka?”
Aku menoleh, terkejut, secepat aliran darahku mengalir, membuat tubuhku mendingin. Baru saja niatan melupakan dan hidup baru itu muncul, kenapa mendengar Ardi menyebut namanya saja, aku sudah merasa sangat sedih.
“lo nggak usah cerita ke gue, tentang dia, gue nggak perlu tau, apa yang udah dilakuin Raka sampe lo gini , kalo lo masih nggak mau ngomong, tapi jujur gue seneng, ngeliat lo udah sedikit berubah, nerima hidup lo,”
............................................................................................................................................................................
Ardi berlari cepat menuju tempat yang sepi, aku dan Alvian bingung apa yang terjadi pada dirinya, kami mengikutinya, dan ternyata dia muntah. Aku dan Alvian tersenyum, melihat dia yang terlihat sangat mual.
“kapok gue naek tuh rolley coaster, kalo lo berdua mau naek lagi, sana gih, gue nggak ikut,” oceh Ardi.
“haha lo tuh gimana sih, lo yang ajak naek, malah lo yang ngedumel, haha,” ucap Alvian, memberikan minum kepada Ardi. Aku, Ardi, dan Alvian sudah berjam-jam menghabiskan waktu di Dufan, kita menaiki wahana apa saja, asal tidak berbahaya, tapi tadi kata Ardi sebelum aksi muntah, “ahh buat uji mental lah, berani nggak?” Dan sekarang?
Usai bermain, kami makan di kedai di Dufan, aku sangat lapar. Menaiki beberapa wahana, memang membuat mual, tetapi mengasikkan, aku melihat kedua lelaki itu makan dengan lahapnya. Tiba-tiba aku tersenyum sendiri.
“yakin lo berani?” tanya Alvian usai memasang pelampung untuk arum jeram. Ardi tampak gelisah, ia mengaitkan pelampungnya dengan erat.
“emang kenapa?” tanyaku.
“dia nggak bisa renang,” ujar Alvian.
“bisa kok, cuma udah lupa,” tambah Ardi tidak ingin kalah.
“bukan lupa tapi trauma, haha. Mau nggak lo? Kalo nggak gue sama Tara aja,” ucap Alvian.
“enggak, gue mau ikut,” kukuh Ardi. Alvian pun hanya bisa menganggukkan kepala dan pasrah saja.
Giliran kami, menaiki perahu lonjong itu, aku di paling depan, Ardi di tengah, dan Alvian di paling belakang, kami terjun dan kami terkejut jika perahu itu akan terbalik, dan kami tercebur semua. Aku yang pertama memunculkan diri dari air. Hening.
Aku memanggil nama Alvian dan Ardi, memasukkan kepalaku ke dalam, dan mencari mereka, bingung.
“Tara, tara !sini Tar,”
Rupanya Alvian sudah naik duluan, dibantu oleh petugasnya, dan dia membantuku untuk naik. Aku menanyakan dimana Ardi, rupanya ia belum terlihat. Petugas mencarinya.
Aku melihat sekeliling, terlihat baju Ardi, semakin jelas, semakin terlihat wajahnya, ia melambaikan tangan meminta pertolongan, jelas tak satu orang pun ke arah sana, ia berada di bawah papan seluncurnya. Aku masuk kembali ke dalam air, berenang ke arahnya, terasa sangat jauh, pikiranku melayang, kenangan ketika aku menolong Raka.
Aku meraih tangannya, dan membawanya ke tepi, ia sudah tak sadarkan diri, pingsan. Petugas membantunya, heran, kenapa pelampungnya tak berfungsi. Nampak Alvian meluapkan amarahnya kepada petugas tentang pelampung Ardi yang tak berfungsi. Kesalahan teknis.
Aku menutup pintu kamar mandi, mengganti lampu terangku, dengan lampu kecil yang kugunakan setiap hari saat tidur, aku duduk di sofa empuk, berhadapan dengan TV yang tidak kunyalakan, aku membuka amplop yang tadi diberikan oleh Ardi.
Fotoku?
Dia pandai foto?
Aku tersenyum ,melihat wajahku, tingkahku, yang terjepret oleh kameranya. Ada foto kita bertiga, usai main arum jeram, basah kuyub, tapi terlihat senang. Aku melihat senyumku di foto itu.
Senyuman yang selalu kuperlihatkan kepada Raka, yang selalu Raka puji, karena senyuman itu membuat Raka semakin sayang, aku menyadari itu. Matanya selalu membuatku tau apa yang ada di dalamnya, ketika ia sedang marah atau tatapan mata yang tajam ketika ingin memelukku. Raka juga tahu, senyuman yang ku sunggingkan aku paksa atau tidak. Raka selalu tahu semuanya.
Aku rindu kepadanya, sungguh. Air mataku keluar lagi, aku sangat cengeng, aku melihat foto aku, papa dan mama ketika kani berlibur ke Paris yang terletak di atas TV, kemudian aku bangkit dan membuka laciku, melihat fotoku dengan Raka, melihat benda pemberian Raka, membaca kembali kartu ucapan Raka dengan tulisan asliya, dan jam tangan hasil pemberianku kepadanya yang ia gunakan saat meninggal.
Aku menangis, tak teratur nafas yang keluar, aku tidak tahan, aku menyandar pada tembok, menunduk, dan menangis. Aku rindu, aku menyesal, perasaan ini selalu timbul. Aku tidak memarahi kedatangan perasaan ini, tapi aku selalu menyalahkan diriku sendiri. Mengapa harus begini? Itu yang selalu kutanyakan.
............................................................................................................................................................................
Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki ke sekolah baruku, aku memakai seragam yang telah jadi sesuai dengan keinginanku, dengan sepatu converse yang dulu kugunakan juga di sekolah lamaku.
Aku menuju kelasku, Alvian mengantarku sampai di depan kelas, kemudian ia kembali dan pergi untuk kuliah, dia berjanji akan menjemputku. Aku belum bertemu Ardi tadi pagi, kemana dia?
Usai menaruh tas, aku keluar dari kelas, belum ada satupun yang aku kenal, aku menuju papan mading, di sekolah ini aku harus mengikuti ekstrakurikuler, sebaiknya aku memilih menjadi anggota mading saja.
Ada pengumuman tentang lomba music, aku tersenyum, teringat dengan piano yang dulu sering ku mainkan, kini telah berdiri di gudang, sendirian. Semua murid mulai menuju mading, membaca apa saja berita hari ini, aku menoleh untuk tetap memperhatikan keseimbanganku dari desakan mereka, tetapi aku melihat sosok laki-laki yang sedang berjalan membelakangiku. Sepertinya aku kenal.
Aku berusaha keluar dari kerumunan itu, dengan cara apapun, aku ingin bertemu dengan sosok itu, dari cara ia berjalan, mengapa ia ada disini? Ada apa? Dimana ia sekarang? Apa ia bersekolah disini?